• Halaman Muka
  • Artikel
  • Wilayah
    • Bali
    • DKI Jakarta
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sumatera
    • Sulawesi
  • Tentang Kami
    • Hubungi
Discovery
MORE
Dark mode
Type size
Follow us
  • Twitter
  • Facebook
  • Instagram
  • en
  • id
Skip to content
What are you looking for?
  • Twitter
  • Facebook
  • Instagram
  • EN
  • ID

Ekuatorial

Data. Maps. Storytelling.

What are you looking for?
  • Halaman Muka
  • Artikel
  • Wilayah
    • Bali
    • DKI Jakarta
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sumatera
    • Sulawesi
  • Tentang Kami
    • Hubungi
Discovery

Artikel

Apakah COP30 di Brasil menghasilkan dana segar untuk menyelamatkan bumi, atau sekadar rebranding utang lama dengan label hijau?
Posted inArtikel / COP30

Antara “Supermarket” karbon dan jerat utang iklim

By Asep Saefullah November 22, 2025November 22, 2025

Apakah COP30 di Brasil menghasilkan dana segar untuk menyelamatkan bumi, atau sekadar rebranding utang lama dengan label hijau?

Jurnalisme konstruktif hadir sebagai solusi untuk mengatasi kelelahan informasi publik dengan menawarkan perspektif yang berfokus pada pemahaman, solusi, dan harapan nyata agar masyarakat tetap berdaya serta peduli dalam menghadapi krisis iklim.
Posted inKeberlanjutan

Bagaimana jurnalisme konstruktif membantu publik bertahan di era krisis iklim?

By Monica Dian Adelina November 19, 2025November 19, 2025

Jurnalisme konstruktif mengatasi kelelahan informasi dengan menawarkan perspektif berfokus pada pemahaman, solusi, dan harapan nyata dalam menghadapi krisis iklim.

Desa Baliara di Pulau Kabaena, terletak di lepas pantai selatan Pulau Sulawesi, Indonesia. Penambangan nikel berlangsung di sekitar Baliara (Foto: Yusuf Wahil / Associated Press / Alamy)
Posted inArtikel / Lingkungan Hidup

Laut merah, napas sesak. Kisah warga Morowali dalam kepungan industri nikel

By Asep Saefullah November 18, 2025November 18, 2025

Pesisir yang tercemar hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Kurisa dan desa-desa lain di sekitar industri nikel

perempuan petani kopi tangguh iklim
Posted inArtikel / Pangan

Senyum petani perempuan Bengkulu di kebun kopi tangguh iklim

By Asep Saefullah November 16, 2025November 16, 2025

Kebun kopi tangguh iklim jadi ekosistem, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan menghadapi krisis iklim

Inisiatif koeksistensi harmonis antara masyarakat dengan gajah sumatera di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Sumatera Selatan
Posted inArtikel / Dunia fauna

Gajah Sumatera di ujung tanduk. Mampukah koeksistensi menjawab konflik di lanskap industri?

By Asep Saefullah Oktober 25, 2025Oktober 25, 2025

Inisiatif koeksistensi harmonis antara masyarakat dengan gajah sumatera di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Sumatera Selatan

Perjuangan Kasepuhan Ciptamulya menjaga mata air dari gempuran tambang dan krisis iklim
Posted inArtikel / Hutan

Perjuangan Kasepuhan Ciptamulya menjaga mata air dari gempuran tambang

By Asep Saefullah Oktober 23, 2025Oktober 24, 2025

Kerusakan terbesar di Kasepuhan Ciptamulya datang dari tambang. Aktivitas haram itu tak hanya merusak lahan, juga mengikis budaya gotong royong.

COP30 akan menjadi momen penentuan: apakah narasi iklim Indonesia mampu meyakinkan dunia, atau justru akan terurai di bawah tekanan realitas?
Posted inArtikel / COP30

Indonesia menuju COP30, antara janji dan realitas di lapangan

By Asep Saefullah Oktober 21, 2025Oktober 24, 2025

COP30 akan menjadi momen penentuan: apakah narasi iklim Indonesia mampu meyakinkan dunia, atau justru akan terurai di bawah tekanan realitas?

COP30 di Amazon: Dunia Butuh Strategi Lebih Baik untuk Lepas dari Energi Fosil
Posted inArtikel / COP30

COP30 di Amazon: Dunia butuh strategi lebih baik untuk lepas dari energi fosil

By Asep Saefullah Oktober 20, 2025Oktober 25, 2025

Keberhasilan COP30 akan diukur dari tiga hal: kemajuan adaptasi, perlindungan alam, dan percepatan implementasi aksi iklim

45 tahun walhi
Posted in.

45 tahun perjuangan WALHI, denyut nadi keadilan untuk bumi pertiwi

By Asep Saefullah Oktober 15, 2025Oktober 15, 2025

45 tahun WALHI bukanlah garis finis. Selama kerakusan masih menjadi panglima pembangunan, perjuangan untuk keadilan ekologis terus berlanjut.

VinFast
Posted inArtikel / Keberlanjutan

Bagaimana VinFast berjuang menjernihkan langit Indonesia?

By Asep Saefullah Oktober 9, 2025November 22, 2025

Apakah VinFast dengan strategi ekosistemnya yang berani akan menjadi kekuatan yang akhirnya membantu mengubah langit kelabu itu menjadi biru?

nol emisi PLN dan ujian keadilan energi
Posted inArtikel / Energi

Dari kilau surya dan jantung bumi ke jalan raya

By Asep Saefullah Oktober 3, 2025Oktober 21, 2025

Swasembada energi dari hulu ke hilir: energi bersih dari sumber daya domestik, digunakan untuk transportasi tanpa emisi.

Dua ekor Siteut (Macaca pagensis) primata endemi Mentawai di hutan Pulau Sipora Kepulauan Mentawai (foto Mateus Sakaliau).
Posted inArtikel / Hutan

Hutan Sipora yang semakin sunyi

By Febrianti September 11, 2025September 12, 2025

Bupati Kepulauan Mentawai menolak masuknya PBPH PT Sumber Permata Sipora karena menurutnya pembabatan hutan akan merugikan masyarakat adat.

nuklir
Posted inArtikel / Energi

Akankah China jadi sekutu nuklir Indonesia?

By Asep Saefullah September 4, 2025September 4, 2025

Indonesia ingin pembangkit listrik tenaga nuklir pertamanya beroperasi pada tahun 2032, namun terdapat tantangan teknis dan geopolitik

Posted inArtikel / Perkotaan

Mengurai masalah sampah Kota Medan: Potret dari TPA Terjun

By Asep Saefullah Agustus 20, 2025September 29, 2025

Masalah sampah di Kota Medan semakin tahun semakin payah, Sudah tambah satu gunung masih butuh gunung lain untuk membuat gunung sampah

kemerdekaan masyarakat adat
Posted inArtikel / Pangan

Kemerdekaan masyarakat adat ketika merdeka merawat pangan lokal

By Asep Saefullah Agustus 17, 2025Agustus 17, 2025

Kebijakan pangan nasional yang sering kali seragam dan terpusat, tanpa sadar menggerus kemerdekaan masyarakat adat.

Jatiwangi Art Factory
Posted inArtikel / Keberlanjutan

Jatiwangi dalam bayangan industri dan mimpi Terakota yang berdaulat lingkungan

By Asep Saefullah Agustus 11, 2025September 29, 2025

Sampah di Majalengka, merupakan tantangan yang kompleks. Timbunan sampah terus meningkat, Jatiwangi jadi penyumbang tertinggi sampah rumah tangga.

Hermansyah pendiri Bank Sampah Rumah Harum [Foto-Themmy Doaly]
Posted inArtikel / Perkotaan

Bank sampah, harapan penanganan sampah di Depok dari rumah

By Themmy Doaly Agustus 8, 2025September 29, 2025

Wali Kota Depok Supian Suri menargetkan pengurangan volume sampah hingga 50 persen. Langkah itu ditempuh melalui bank sampah dan budidaya maggot.

Warga Tolak Klaim Sosialisasi PLTP Cipanas oleh Balai Besar TNGGP
Posted inArtikel / Keberlanjutan

Warga tolak klaim sosialisasi PLTP Cipanas oleh Balai Besar TNGGP

By Adi Marsiela Agustus 4, 2025Agustus 4, 2025

Warga dari tiga desa di kaki Gunung Gede-Pangrango menggelar aksi penolakan rencana proyek PLTP Cipanas di kantor Balai Besar TNGGP.

Reforma Agraria
Posted inArtikel / Agraria

Reforma agraria bisa terwujud: Belajar dari Gunung Anten, Langensari, dan Kasepuhan Jamrut

By Asep Saefullah Agustus 3, 2025Agustus 3, 2025

KPA berharap Indonesia jadi pusat best practice dalam reforma agraria sebagai jalan wujudkan kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan

Kawasan hutan Indonesia. (Kementerian Kehutanan)
Posted inArtikel / Agraria

Pisau bermata dua penertiban kawasan hutan

By Asep Saefullah Juli 26, 2025Agustus 3, 2025

Kebijakan penertiban kawasan hutan perlu memenuhi prinsip kehati-hatian, transparansi, dan skala prioritas.

Aksi murid SDIT YAA BUNAYYA, Gresik, Jawa Timur, menolak kemasan plastik sekali pakai. (Foto: AZWI)
Posted inArtikel / Lingkungan Hidup

Produsen harus bertanggung jawab dalam mengurangi sampah plastik

By Asep Saefullah Juli 23, 2025Agustus 3, 2025

Pencemaran sampah plastik semakin mengkhawatirkan. Mikroplastik ditemukan di air minum dalam kemasan (AMDK).

Perempuan Mentawai
Posted inArtikel / Pangan

Terancamnya budi daya toek milik perempuan Mentawai

By Febrianti Mei 14, 2025Mei 14, 2025

Para perempuan Mentawai di Pulau Sipora terampil budi daya toek. Tapi sumber protein dan ekonomi keluarga itu terganggu perubahan iklim.

PLTU PT Obsidian Stainlees Steel (OSS) terletak di Desa Tani Indah, Kecamatan Kapoiala, Konawe
Posted inArtikel / Lingkungan Hidup

Produksi kepiting tersedak debu batu bara

By Asep Saefullah Mei 10, 2025Mei 10, 2025

Kendari dulu menjadi lumbung kepiting bakau. Kini setelah pembangunan smelter dan pembangunan PLTU, kepiting tak lagi berkembang biak akibat kerusakan lingkungan.

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) bernama Mancak bereaksi saat didekati di kandang penangkaran milik Taman Safari Indonesia, Bogor, Rabu, 16 April 2025. Macan tutul yang berhasil diselamatkan dari konflik dengan manusia di Kecamatan Mancak, Banten pada akhir Maret 2025 ini merupakan predator utama yang tersisa di Pulau Jawa dan statusnya dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature pada kategori terancam punah.
Posted inArtikel / Dunia fauna

Menanti keberhasilan rehabilitasi macan tutul

By Adi Marsiela April 23, 2025April 23, 2025

Predator terbesar di Pulau Jawa, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) masih dalam status ‘terancam punah’

Kodok darah alias bleeding toad (Leptophryne cruentata) tampak di dalam akuarium penangkaran milik Taman Safari Indonesia, Bogor, Rabu, 16 April 2025. Kodok darah merupakan satu-satunya dari sedikitnya 400-an amfibi yang dilindungi di Indonesia dan status keterancamannya menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) masuk pada tahap kritis atau dua tahap jelang punah.
Posted inArtikel / Dunia fauna

Menangkarkan kodok darah: upaya menambah indikator kesehatan lingkungan

By Adi Marsiela April 19, 2025April 19, 2025

Taman Safari Indonesia menangkarkan kodok darah. Amfibi ini masuk dalam kategori kritis atau critically endangered menurut lembaga konservasi alam internasional, IUCN.

ilustrasi tambang nikel pemasok baterai kendaraan listrik
Posted inArtikel / Keberlanjutan

Kilau kendaraan listrik, derita di tanah nikel

By Asep Saefullah April 14, 2025April 14, 2025

Kisah dari Sulawesi dan Maluku Utara ini menyingkap kontradiksi fundamental narasi global transisi energi lewat kendaraan listrik

Posted inArtikel / Keberlanjutan

Benarkah mobil listrik lebih ramah lingkungan?

By Asep Saefullah April 12, 2025April 12, 2025

Perjalanan menuju mobil listrik yang benar-benar berkelanjutan masih panjang, menuntut perbaikan di setiap tahap siklus hidupnya.

cara asyik nonton konser yang ramah lingkungan. pexels.com/id-id/@wendywei/
Posted inArtikel / Perkotaan

Cara asyik nonton konser ramah lingkungan

By Asep Saefullah April 10, 2025April 10, 2025

Cara praktis nonton konser musik secara asyik dan ramah lingkungan, mulai dari memilih transportasi hingga mengelola sampah, agar tetap keren sambil berkontribusi positif bagi bumi.

Ponsel Dengan Tanda Daur Ulang Hijau Dan Kantong Jaring. pexels.com/ready made
Posted inArtikel / Keberlanjutan

Dari thrifting sampai zero waste: gaya hidup ramah lingkungan anak muda

By Asep Saefullah April 9, 2025April 9, 2025

Anak muda Indonesia semakin mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan, didorong oleh kesadaran akan krisis iklim dan pengaruh media sosial, mengubah kepedulian terhadap bumi menjadi praktik keren sehari-hari seperti thrifting dan zero waste.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah beberapa tahun belakangan mengamati perubahan Puncak Jaya yang tak lagi sepenuhnya diselimuti salju. (FOTO: WIKI COMMON)
Posted inArtikel / Hutan

Cartenz Pyramid (Puncak Jaya), keajaiban alam dan keunikan geografisnya

By Asep Saefullah Maret 6, 2025Maret 6, 2025

Menurut data yang tercatat pada tahun 1992, salju yang menutupi Puncak Jaya atau Cartenz Pyramid memiliki luas sekitar 3.300 hektar.

konflik agraria tambang emas
Posted inOpini / Sumber daya

Dampak revisi UU Minerba yang ugal-ugalan terhadap lingkungan hidup di Indonesia

By Asep Saefullah Februari 19, 2025Februari 27, 2025

Revisi UU Minerba yang disahkan pada 18 Februari 2025 di DPR menuai kontroversi. Posesnya cepat serta memungkinkan ormas dan kampus mengelola tambang, dengan potensi dampak negatif bagi lingkungan dan sosial.

transisi energi bojongkapol dengan indigofera
Posted inArtikel / Energi

Transformasi energi di Bojongkapol, mengubah lahan kritis jadi sumber energi bersih

By Asep Saefullah Januari 13, 2025Februari 27, 2025

Bojongkapol contoh nyata sirkular ekonomi mengubah tantangan menjadi peluang. Melalui penanaman indigofera, tidak hanya bisa mengubah lahan kritis jadi sumber energi tapi juga mensejahterakan warganya.

Tini Kasmawati pengasuh Owa Jawa di Sukabumi
Posted inArtikel / Dunia fauna

Srikandi penjaga Owa Jawa di Sukabumi

By Asep Saefullah Desember 23, 2024Desember 22, 2024

Perambahan hutan membuat habitat Owa Jawa (Hylobates Moloch) menciut. Dan primata ini pun terancam punah. Tapi ada seorang perempuan yang berjuang menjadi ibu asuh bagi mereka.

Warja sesepuh kampung adat kuta
Posted inArtikel / Hutan

Pamali benteng kelestarian hutan Kampung Adat Kuta

By Asep Saefullah Desember 22, 2024Februari 15, 2025

Masyarakat Kampung Adat Kuta hidup dengan filosofi yang kuat. Tebing kayuan bambuan, rendah empangan, rata sawahan rumahan.

Reaktor IPAL limbah tahu Sumedang di Kampung Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara. (Foto: Ekuatorial.com)
Posted inLiputan khusus / Energi

Energi alternatif dari limbah tahu Sumedang, antara inovasi dan keberlanjutan

By Asep Saefullah Oktober 10, 2024Februari 27, 2025

Tahu Sumedang bukan hanya gurih dan nikmat, tapi ada masalah limbah yang mencemari lingkungan. Di Kampung Giriharja limbah tahu diolah menjadi biogas.

Juan Khaidir, Chief Operating Officer LamaLama Indonesia, menunjukkan beberapa produk yang terbuat dari pakaian bekas, seperti jas, kemeja wanita, dan pouch.
Posted inLiputan khusus / Keberlanjutan

Sustainable thrift shop, solusi mengatasi limbah fesyen

By Mohammad Badar Risqullah Mei 22, 2023April 14, 2025

Konsep sustainable thrift shop ala LamaLama Indonesia bisa menjadi salah satu opsi mengatasi limbah fesyen di Indonesia.

Indonesia aktif dalam negosiasi pasar karbon. Tapi untuk aksi iklim yang penting untuk mendatangkan pendanaan, sangat minim
Posted inArtikel / COP30

Indonesia di panggung COP30: aktif kritik teks, pasif aksi iklim

By Asep Saefullah November 23, 2025November 23, 2025

Indonesia aktif dalam negosiasi pasar karbon. Tapi aksi iklim yang penting untuk mendatangkan pendanaan, sangat minim

Para petani sedang mengurus ladang mereka saat uap mengepul dari pembangkit listrik tenaga panas bumi di Dieng, Jawa Tengah (Gambar: Beawiharta / Associated Press / Alamy)
Posted inArtikel / Energi

Tata kelola geothermal Indonesia, pusat merencanakan daerah menderita

By Asep Saefullah November 20, 2025November 22, 2025

Perubahan tata kelola geothermal mendesak dilakukan, investor asing memprioritaskan aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan

SNDC mengakui pentingnya restorasi dan mencantumkan moratorium izin baru konversi hutan primer. Namun, di sisi lain, proyek pembangunan skala luas terus mengubah area esensial termasuk ekosistem gambut
Posted inArtikel / Lingkungan Hidup

Ambisi SNDC Indonesia terjebak ekspansi ekstraktif, mengancam gambut dan laut

By Asep Saefullah November 19, 2025November 19, 2025

SNDC Indonesia mengakui pentingnya restorasi dan mencantumkan moratorium izin baru konversi hutan primer. Tapi, proyek skala luas terus mengubah area esensial termasuk ekosistem gambut

Posted inCOP30

Agam dari Rinjani ke Belém: Pemandu yang Jadi Pahlawan Brasil Kini Dilirik Netflix

By November 18, 2025November 18, 2025

Kisah Agam Rinjani di COP30 menunjukkan bagaimana aksi kemanusiaan dapat mengangkat warga biasa ke panggung global, menjadikannya simbol solidaritas sekaligus pembawa gagasan lingkungan yang ingin ia terapkan kembali untuk menjaga Rinjani.

Kriminalisasi sembilan pembela lingkungan di Jantung Jawa
Posted inArtikel / Lingkungan Hidup

Kriminalisasi pembela lingkungan di Jantung Jawa

By Asep Saefullah November 18, 2025November 18, 2025

Kriminalisasi pembela lingkungan bukanlah kasus biasa, melainkan korban sistem yang memprioritaskan investasi di atas kelestarian lingkungan dan hak asasi manusia.

Jumat pagi di Belém, 14 November 2025. Udara di luar Hangar Convention Centre sudah terasa panas dan tegang, bukan hanya karena kelembaban Amazon. Di pintu masuk utama Blue Zone—area steril yang disediakan untuk para negosiator berjas—obrolan diplomatik yang biasa terdengar telah digantikan oleh nyanyian dan tuntutan. Sekitar 90 pengunjuk rasa dari masyarakat adat Munduruku memblokir akses, mengubah diri mereka dari sekadar penonton menjadi inti cerita. Ini bukan side event yang terjadwal; ini adalah intervensi. Masyarakat Munduruku, yang tanah leluhurnya di negara bagian Pará, Amazonas, dan Mato Grosso terancam, tidak datang untuk berfoto. Mereka menuntut satu hal yang mendasar: "diakhirinya proyek dan kegiatan ekstraktif yang mengancam wilayah adat," terutama di cekungan Sungai Tapajós dan Xingu. Adegan ini adalah ironi pertama dan paling tajam dari KTT iklim PBB ke-30 ini. Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, telah dengan lantang menjanjikan KTT ini sebagai "COP of Truth" ("COP Kebenaran"). Namun, ketika "kebenaran" dari garis depan krisis iklim tiba di gerbangnya, respons resmi bukanlah dialog, melainkan pemanggilan tentara untuk memperkuat keamanan. Di dalam, di balik barikade, dunianya terasa berbeda. Joni Aswira Putra Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalist), melaporkan untuk Ekuatorial dari Belém. Ia menggambarkan negosiasi minggu pertama, yang berakhir pada Sabtu, 15 November 2025 , sebagai "cukup dinamis". "Dinamis" adalah kata yang sopan untuk "penuh konflik". Di balik "banyak side event" dan "pertemuan-pertemuan presidensi" yang diamati Joni, dua pertarungan fundamental sedang berkecamuk. Pertarungan pertama adalah soal uang: pertarungan triliunan dolar mengenai siapa yang membayar untuk transisi iklim. Pertarungan kedua adalah soal kredibilitas: pertarungan eksistensial mengenai integritas tuan rumah yang menjanjikan penyelamatan Amazon sambil berencana mengebor minyak di muaranya. Direktur Eksekutif COP30, Ana Toni, berusaha meredakan ketegangan, menyebut protes Munduruku sebagai "sah" dan meyakinkan media bahwa pemerintah "mendengarkan". Namun, tindakan memanggil tentara menceritakan kisah yang berbeda. Ini mengungkap adanya dua COP yang berjalan paralel di Belém: COP di dalam Blue Zone, dengan negosiasi steril dan bahasa teknis; dan COP di luar di jalanan, tempat "kebenaran" yang dituntut Lula sedang diperjuangkan secara fisik. Fakta bahwa masyarakat Munduruku harus memblokir pintu masuk hanya untuk diarahkan bertemu dengan menteri Sônia Guajajara dan Marina Silva membuktikan satu hal: mereka, pada awalnya, tidak didengar sama sekali. Pahlawan Iklim dan rencana pengeboran minyak Presiden Lula adalah pusat gravitasi dari COP30. Di panggung global, dia adalah pahlawan iklim. Dia membuka KTT Pemimpin dengan seruan penuh semangat untuk "kekalahan telak bagi penyangkal iklim". Seperti yang dicatat oleh Joni Aswira Putra, tuan rumah Brasil dan "Presiden Lula sendiri yang mendorong koalisi besar" untuk mengakhiri ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil. Ada "kabar baik" yang nyata untuk mendukung retorikanya. Pemerintahannya telah mencapai kemajuan yang mengesankan dalam menekan laju perusakan hutan. Angka deforestasi di Amazon Brasil telah turun sebesar 50% selama tiga tahun masa jabatannya. Ini adalah pencapaian signifikan yang dipamerkan di KTT. Inisiatif utamanya adalah 'Tropical Forest Forever Facility' (TFFF), sebuah mekanisme pendanaan baru yang dirancang untuk membuat "hutan yang berdiri lebih berharga daripada lahan yang gundul". TFFF bertujuan mengumpulkan $125 miliar untuk perlindungan hutan, dan telah mendapatkan komitmen awal $5,5 miliar, termasuk dari Norwegia dan kontribusi dari Brasil sendiri. Namun, seperti yang diakui Lula sendiri dalam pidatonya, ada "kesulitan dan kontradiksi". Kontradiksi-kontradiksi ini begitu mencolok sehingga mengancam kredibilitas seluruh KTT. Kontradiksi Minyak. Hanya beberapa minggu sebelum COP30 dimulai, pemerintahannya menyetujui lisensi pengeboran minyak dan gas di Foz do Amazonas, sebuah wilayah sensitif di lepas pantai muara Sungai Amazon. Ini adalah langkah yang dikecam para kritikus sebagai kemunafikan yang mencengangkan. Kontradiksi Infrastruktur: Secara bersamaan, pemerintahannya mendorong "peningkatan" jalan raya BR-319, sebuah proyek yang akan membelah wilayah barat Amazon yang masih utuh. Para ilmuwan memperingatkan ini akan memberikan "tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya" dari agribisnis dan ekstraktivisme. Ada pula rencana untuk "de-statise" (privatisasi) sungai-sungai utama seperti Tapajós untuk menciptakan "hydrovia" (jalur air) bagi pengiriman kedelai. Kontradiksi Politik Lula harus melakukan "tindakan penyeimbangan" politik yang berbahaya. Untuk memerintah, ia bergantung pada dukungan lobi "Ruralista" (agribisnis) yang kuat, yang mendominasi Kongres dan mendorong agenda ekstraktif yang berlawanan langsung dengan konservasi. Kontradiksi Ambisi Brasil, yang memposisikan diri sebagai pemimpin iklim global, secara bersamaan adalah salah satu emiten teratas dunia dan secara aktif mempertimbangkan untuk bergabung dengan OPEC+, aliansi negara-negara produsen minyak. Ini bukan sekadar "tindakan penyeimbangan"; ini adalah strategi ganda yang terkompartementalisasi. Lula tidak sedang menyeimbangkan; dia sedang mencoba memiliki keduanya. Di satu sisi, dia memperlakukan Amazon sebagai aset karbon global yang bisa dijual (melalui TFFF) kepada donor internasional untuk pendanaan iklim. Di sisi lain, dia memperlakukannya sebagai aset sumber daya domestik (minyak, tanah, jalur sungai) yang bisa dijual kepada sekutu politik (Ruralista, industri minyak) untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi "abad ke-20". Paradoks Lula bukanlah kegagalan pribadi; ini adalah model bisnis "Ekstraktivisme Hijau". "COP Kebenaran" adalah panggung global untuk memasarkan kedua strategi yang saling bertentangan ini secara bersamaan. Ini adalah preseden berbahaya yang menunjukkan bahwa perlindungan iklim dan ekstraktivisme dapat berjalan beriringan, padahal kenyataannya keduanya saling meniadakan. Keuangan transisi Di jantung "dinamika" minggu pertama yang dilaporkan Joni Aswira Putra untuk Ekuatorial adalah satu isu yang selalu menjadi kunci: "keuangan transisi". Ini adalah medan pertempuran utama yang memecah belah Global Utara dan Global Selatan, dan di Belém, pertarungan ini berpusat pada dua mekanisme yang saling terkait: "Pasal 9 dari Perjanjian Paris" dan "Peta Jalan Baku-Belem" yang baru. Pasal 9 adalah inti dari ketidakpercayaan. Secara hukum, pasal ini mewajibkan negara-negara maju untuk menyediakan sumber daya keuangan bagi negara-negara berkembang untuk mitigasi dan adaptasi. Kata kerja yang digunakan adalah "shall provide" (harus menyediakan), sebuah kewajiban, bukan saran. Konflik teknis yang sangat politis terjadi pada perbedaan antara Pasal 9.1 dan 9.3. Negara-negara berkembang, yang dipimpin oleh blok G77 dan Tiongkok, berargumen bahwa COP29 di Baku tahun lalu gagal total. Mengapa? Karena kesepakatan di Baku hanya berfokus pada Pasal 9.3: "mobilisasi" keuangan, sebuah istilah yang memungkinkan negara maju menghitung pinjaman swasta dan modal komersial sebagai bagian dari kontribusi mereka. Negara-negara berkembang berargumen bahwa kewajiban inti Pasal 9.1—"penyediaan" dana publik (yaitu, hibah, bukan pinjaman) dari kas negara maju—telah diabaikan dan "masih terutang". Negara-negara maju, khususnya Uni Eropa (UE), diidentifikasi sebagai "penghalang utama" kemajuan dalam perdebatan ini, menghalangi fokus khusus pada pendanaan publik Pasal 9.1. Ke dalam kekacauan inilah "Peta Jalan Baku-Belém" diluncurkan. Ini adalah proposal besar di atas meja: sebuah rencana untuk memobilisasi $1,3 triliun USD per tahun pada tahun 2035. Seperti yang dicatat Joni, tujuannya ambisius: "reformasi arsitektur keuangan dan penghapusan subsidi fosil". Peta jalan ini memang menyerukan "perombakan" sistem keuangan dan "penyaluran kembali" subsidi bahan bakar fosil, yang menurut IMF mencapai angka mengejutkan $7 TRILIUN pada tahun 2022. Namun, peta jalan ini segera dilihat melalui dua lensa yang sangat berbeda. Bagi lembaga-lembaga seperti World Resources Institute (WRI), ini adalah "strategi holistik yang cerdas". WRI memuji "kombinasi pragmatisme dengan fokus pada skala dan perubahan sistem" dan memujinya karena "secara tepat menggeser lensa" dari dana publik yang "sederhana" untuk "membuka aliran yang jauh lebih besar dari investor swasta". Bagi negara-negara Global Selatan, pernyataan WRI adalah perwujudan dari ketakutan terbesar mereka. "Pergeseran lensa" ini, bagi mereka, adalah pengkhianatan terhadap kewajiban hukum Pasal 9.1. Mereka melihatnya sebagai "melemahkan" kewajiban negara maju dan mengganti hibah publik yang mereka butuhkan dengan pinjaman swasta yang hanya akan memperburuk krisis utang. Ini adalah perangkap utang iklim. Negara-negara berkembang, yang sudah menghabiskan 20-30% dari PDB mereka hanya untuk membayar utang, kini dipaksa masuk ke dalam skema di mana mereka harus meminjam uang (modal swasta 9.3) dari negara-negara Utara yang menyebabkan krisis iklim, untuk memperbaiki masalah yang disebabkan oleh negara-negara Utara tersebut, alih-alih menerima dana kewajiban (hibah publik 9.1). Ini adalah bentuk baru kolonialisme iklim. Tanpa penyelesaian kewajiban Pasal 9.1, Peta Jalan $1,3 Triliun berisiko menjadi "laporan yang tidak mengikat dengan dampak terbatas". Ambisi di atas kertas Pertarungan soal uang secara langsung terkait dengan pertarungan soal aksi. Joni Aswira Putra menyoroti fokus utama pada "transition away from fossil fuel" (transisi meninggalkan bahan bakar fosil) dan "peningkatan ambisi NDC" (Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional). COP30 adalah tenggat waktu krusial bagi negara-negara untuk menyerahkan rencana iklim baru mereka (dikenal sebagai NDC 3.0) yang akan menentukan nasib target 1,5°C. Kebutuhan akan ambisi ini sangat mendesak. Laporan PBB sebelum KTT telah mengkonfirmasi adanya "jurang ambisi yang luas" antara janji-janji saat ini dan apa yang diperlukan. Menanggapi hal ini, sebuah "koalisi yang berkemauan" telah terbentuk. Joni menyebutkan adanya "Belém declaration on fossil fuel" yang didukung oleh 62 negara. Ini merujuk pada "koalisi yang berkembang pesat" dari 62 negara yang kini mendukung "peta jalan transisi bahan bakar fosil (TAFF) yang terstruktur". Ini adalah "koalisi besar" yang didorong oleh Lula, dan cakupannya luas: mencakup Brasil, negara-negara Eropa seperti Prancis dan Jerman, Kenya, dan blok-blok negosiasi penting seperti Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS). Namun, koalisi 62 negara ini menghadapi kekuatan penentang yang masif. Secara formal, mereka menghadapi perlawanan dari negara-negara seperti Arab Saudi 29 dan produsen batu bara besar seperti Tiongkok dan India, yang menentang bahasa spesifik tentang penghapusan bahan bakar fosil. Namun, perlawanan yang lebih kuat dan lebih meresap bersifat informal. Sebuah analisis baru dari koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) menemukan bahwa lebih dari 1.600 pelobi bahan bakar fosil telah diberikan akses resmi ke COP30. Angka ini sangat mengejutkan: itu berarti satu dari setiap 25 peserta di Belém adalah seorang pelobi industri fosil. Jumlah mereka jauh melampaui delegasi negara mana pun selain tuan rumah Brasil. Selama lima tahun terakhir, 7.000 pelobi fosil telah menghadiri KTT iklim. Konteks ini menjelaskan mengapa peluncuran "Deklarasi Belém tentang Integritas Informasi tentang Perubahan Iklim" menjadi begitu penting. Deklarasi ini, yang didukung oleh 12 negara termasuk Brasil, Prancis, dan Jerman, adalah pengakuan resmi di tingkat COP bahwa negosiasi tidak hanya dirusak oleh lobi, tetapi juga oleh kampanye "disinformasi, pelecehan terhadap suara ahli, [dan] ruang gema yang terpolarisasi". Kampanye ini dirancang khusus untuk "mengulur dan menyabotase aksi" iklim. Pertarungan di Belém bukan lagi sekadar negosiasi kebijakan; ini adalah perang informasi. Para pelobi tidak hanya hadir untuk memengaruhi teks; mereka hadir untuk menciptakan kabut keraguan yang membenarkan kelambanan. Seperti yang dikatakan oleh Lien Vandamme dari Center for International Environmental Law (CIEL), ini bukanlah tata kelola iklim. "Ini adalah penangkapan korporat, bukan tata kelola iklim," tegasnya. Koalisi 62 negara mungkin memiliki otoritas moral, tetapi 1.600 pelobi memiliki anggaran untuk membeli narasi. Indonesia dan dilema 'solusi palsu' Di tengah pertarungan antara Global Utara dan Selatan ini, dalam laporanya kepada Ekuatorial, Joni secara spesifik menyebut Indonesia sebagai negara "Selatan-Selatan" yang, seperti Brasil, berada di posisi kunci untuk menerima pendanaan iklim yang diperdebatkan di bawah Pasal 9. Indonesia datang ke Belém dengan proposal andalannya: "Kebijakan Industri Hijau". Sebagai bagian dari kebijakan ini, pemerintah mempresentasikan 14 proyek pengurangan emisi, yang bertujuan untuk menarik investasi internasional di bawah mekanisme Perjanjian Paris. Namun, para pengamat yang mengikuti kampanye COP Indonesia sebelumnya mencatat adanya "pola yang berulang". Proyek-proyek yang dipresentasikan "seringkali kurang transparan, tidak memiliki jadwal yang jelas, atau strategi implementasi yang terperinci". Kritik paling tajam datang dari dalam negeri. Siaran pers dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 11 November 2025, yang berjudul "Pemerintah Indonesia Gagal Membawa Kepentingan Rakyat Indonesia di COP 30", memberikan analisis yang memberatkan. WALHI mengecam paviliun Indonesia yang baru dibuka sebagai sesuatu yang menyerupai "pasar dagang untuk hutan Indonesia dan sumber daya alamnya". Kritik utamanya ditujukan pada dua pilar strategi Indonesia. Perdagangan karbon sebagai perampasan lahan, dan dekarbonisasi beracun. Analisis WALHI menyimpulkan bahwa komitmen iklim Indonesia (SNDC) "ditakdirkan untuk gagal sejak awal" karena seluruh strukturnya dibangun di atas "skema ekstraktif". Ironisnya, saat Indonesia mempromosikan "solusi" berbasis lahan yang kontroversial, sebuah janji besar lainnya di COP30 menuai kritik serupa. "Belém 4X Pledge on Sustainable Fuels"—sebuah janji yang didukung oleh tuan rumah Brasil, India, Italia, dan Jepang untuk melipatgandakan penggunaan "bahan bakar berkelanjutan" seperti biofuel dan biogas—ditolak mentah-mentah oleh jaringan masyarakat sipil. Climate Action Network (CAN) dan Greenpeace secara eksplisit "Menolak Ikrar Belém 4X". Mereka memperingatkan bahwa ini adalah "distraksi berbahaya" yang akan memicu gelombang baru "penghancuran hutan" global untuk memenuhi permintaan bioenergi. Di sini, Indonesia dan Brasil terlihat sebagai cerminan satu sama lain. Keduanya mempraktikkan model "Ekstraktivisme Hijau". Keduanya menggunakan bahasa "hijau"—baik itu 'Kebijakan Industri Hijau', perdagangan karbon, atau 'Bahan Bakar Berkelanjutan'—untuk menarik pendanaan iklim internasional. Namun, pendanaan tersebut kemudian digunakan untuk melanggengkan model ekonomi ekstraktif yang sama (gas, pertambangan, perkebunan) yang menjadi akar penyebab krisis, dan yang secara konsisten mengorbankan masyarakat adat dan lokal, baik itu Suku Anak Dalam di Jambi maupun masyarakat Munduruku di Belém. Minggu pertama COP30 ditutup dengan "tekanan yang meningkat". Seperti yang dilaporkan Joni Aswira Putra, negosiasinya "dinamis", tetapi para ahli di lapangan, seperti Dr. Rachel Cleetus dari Union of Concerned Scientists (UCS), memperingatkan bahwa "terobosan besar pada topik-topik kritis belum terwujud". Para menteri yang kini tiba di Belém untuk negosiasi tingkat tinggi di minggu kedua mewarisi beban untuk menyelesaikan serangkaian pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana cara menutup "jurang ambisi" emisi untuk menjaga target 1,5°C tetap hidup? Bagaimana cara menyepakati penghapusan bahan bakar fosil yang adil dan didanai—bukan sekadar retorika? Bagaimana cara mengatasi kebuntuan fundamental antara pendanaan publik (Pasal 9.1) dan mobilisasi swasta (Pasal 9.3)? Ada ketakutan yang nyata bahwa proses COP itu sendiri "rusak" dan "tidak lagi sesuai dengan tujuannya". Kekecewaan negara-negara berkembang terhadap hasil tahun lalu di Baku digambarkan sebagai "pengkhianatan yang mengejutkan". Di tengah krisis kredibilitas inilah, Kepala Iklim PBB Simon Stiell memberikan pidato pembukaan yang tajam. Dia memohon kepada para delegasi: "Pekerjaan Anda di sini bukan untuk bertarung satu sama lain – pekerjaan Anda di sini adalah untuk melawan krisis iklim ini, bersama-sama". Saat para menteri mengambil alih negosiasi, "COP Kebenaran" dihadapkan pada pilihan terakhirnya. Kebenaran siapa yang akan mereka wujudkan? Kebenaran yang nyaman dari para pelobi dan solusi palsu mereka? Kebenaran yang dikompromikan dari tuan rumah mereka yang paradoksal? Atau kebenaran yang tidak nyaman dari masyarakat adat Munduruku, yang tuntutannya—jika benar-benar didengarkan—akan memaksa perubahan sistemik yang sebenarnya? Jawabannya akan menentukan apakah Belém dikenang sebagai titik balik, atau hanya sebagai "pasar dagang" lain untuk masa depan planet ini.
Posted inArtikel / COP30

COP 30 menghadapi pertarungan sengit soal uang, minyak, dan keadilan iklim

By Asep Saefullah November 17, 2025November 17, 2025

Saat negosiasi COP 30 di Belém memasuki minggu kedua yang genting, pertarungan triliunan dolar untuk pendanaan iklim publik dan paradoks bahan bakar fosil

Paginasi pos

1 2 3 … 294 Older posts

Web development by

Hacklab /
Privacy Policy
  • Twitter
  • Facebook
  • Instagram